“Feodal, takut menghadapi perubahan, bicaranya satu arah, meeting-nya lama dan tak ada keputusan, semua serbauang, lamban, berubahnya pelan-pelan. Itu artinya tidak ada perubahan sama sekali. Feodal,” itulah pendapat dari Generasi Z mengenai generasi Baby Boomer.
Tetapi bagi orang yang dituding feodal, sebaliknya anak- anak muda ini dianggap sebagai self-centered, bahkan narsis dan asyik sibuk sendiri. Mereka punya dunia yang sulit dimengerti, dinilai kurang gigih, kurang berdisiplin, dan perilakunya kutu loncat. (baca buku Strawberry Generation-red).
“Dunia ini telah berubah menjadi amat kompetitif, dinamis, cepat berubah, dan serba gerak cepat. “
Inilah persoalan terbesar dalam generation gap yang dihadapi bangsa yang membiarkan anak-anak mudanya lahir, dibesarkan, dididik, dan dilatih bekerja sebagai passenger. Kalau ini dibiarkan, maka institusi akan rusak, kemampuannya berinovasi akan terhambat, dan manajemen tidak bisa bekerja dengan baik.
Organisasi itu kelak akan kesulitan bersaing menghadapi serbuan dari tenaga kerja asing yang sedari muda dilatih menjadi good driver. Ketika anak-anak muda dibuat menjadi pasif, hanya bekerja berdasarkan arahan atasan, dan inisiatifnya dimatikan, mereka akan menjadi sama dengan generasi tua yang terbiasa bergerak dalam lingkungan yang pasti-pasti, statis, dan lamban. Padahal, dunia ini telah berubah menjadi amat kompetitif, dinamis, cepat berubah, dan serba gerak cepat.
Dan, anak-anak yang bisa melakukan perubahan di dunia baru itu adalah anak-anak yang terlatih mengelola ketidakpastian, yang berani mencari jalan-jalan baru, yang sejak di bangku SMA terlatih mengambil inisiatif.
Perspektif Anak Muda Untuk Dunia Baru
Secara teoretis, harusnya anak-anak muda ini bisa lebih maju dari generasi terdahulu, karena mereka dibesarkan dalam ruang teknologi yang berbeda dengan ruang orangtuanya. Anda mungkin pernah mendengar istilah button theory. Ya, button, tombol, atau kenop yang biasa dijumpai pada hampir semua alat elektronik. Generasi yang lahir sampai tahun 1975-an sangat terbiasa bekerja dengan alat yang ada button-nya. Namun, pada era touch screen dewasa ini, anak-anak muda yang lahir pasca- 1975 sudah mulai bekerja dengan gadget tanpa button
Lantas, apa kaitan button theory dalam generation gap dan gagasan be a driver? Begini, ketika diberi gadget, orangtua selalu mencari button-nya, dan sebelum menanganinya, orangtua selalu memulainya dengan bertanya. Mereka banyak tanya kepada kaum muda atau orang lain dan minta dijelaskan ini-itu. Kalau tak bisa juga, entah didiamkan atau mereka yang lebih pintar akan mencari buku manualnya. Mencari petunjuk. Iramanya menjadi lamban dan butuh waktu.
Sementara bagi anak-anak muda, begitu diberi gadget, mereka langsung mengutak-atiknya. Bahkan melakukannya tanpa membaca manualnya terlebih dahulu. Learning by doing. Maka, ketika ditanya kaum tua, mereka pun berteriak, “Waaaaa… mengapa tidak dicoba dulu?”
Jadi, dengan sistuasi saat ini ditengah Revolusi Industri 4.0 yang dipercepat dengan adanya pandemi sehingga proses digitalisasi menjadi super cepat, sudah tidak ada alasan lagi untuk menunda perubahan.
Disadur dari buku bestseller karya Rhenald Kasali, SELF DRIVING
sumber : mizanstore.com