Buku ini tak pernah direncanakan untuk saya susun. Seperti saya tulis di Bab “Mengklasifikasi Syi‘ah dari Tuduhan-Tuduhan terhadapnya”, sudah lama sebetulnya saya malas bicara tentang pertikaian Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah. Lebih sering tak produktif dan makan hati. Maka, untuk waktu yang lama, saya memilih berbicara dan menulis tentang masalah-masalah lain yang saya anggap lebih mendesak dan, pada saat yang sama, lebih mudah diterima orang banyak.
Hingga, suatu kali, kira-kira 6 bulan lalu, datang permintaan untuk menjadi narasumber di acara Orasi Budaya Syukuran Milad ke-22 IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia). IJABI adalah organisasi yang didirikan oleh Almarhum Pak Jalaluddin Rakhmat. Kalau bukan itu acaranya, mungkin saya sudah akan langsung menolak. Tapi, Pak Jalal adalah salah seorang guru saya, selain Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafii, Pak Kunto, Pak Quraish, dan banyak lagi.
Kebetulan juga, sudah lama saya ingin menulis tentang tasawuf sebagai titik temu antara Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah. Jadi, bukan terutama soal Ahlus-Sunnah dan Syi‘ahnya, melainkan soal tasawuf—yang memang sudah selama puluhan tahun menjadi fokus minat saya—sebagai muara bagi banyak mazhab dan aliran dalam Islam. Maka, saya tawarkan judul “Tasannun dan Tasyayyu‘, Bertemu Lagi dalam Tasawuf” sebagai topik bahasan saya. Ternyata, panitia langsung menerimanya. Lebih jauh dari itu, ternyata banyak orang merasa tercerahkan oleh orasi itu, terutama oleh upaya saya yang menunjukkan bahwa di awal-awal sejarah Islam—khususnya di kalangan penganut Islam, termasuk para ulamanya, yang jauh dari panggung politik—pertikaian Sunni-Syi‘i tidaklah sebesar itu.