Share

share icon share icon share icon

ISLAM AKTUAL (REPUBLISH) REFLEKSI SEORANG CENDEKIAWAN MUSLIM

By Jalaluddin Rakhmat
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : MIZAN PUBLISHING
SKU : UA-247
ISBN : UA-247
Berat : 350 gram
Jenis Cover : Soft Cover

 

SINOPSIS ISLAM AKTUAL 

Satu Tuhan, Satu Nabi, banyak mazhab—inilah kenyataan di kalangan umat Islam. Kenyataan demikian tidak perlu dirisaukan sejauh tafsir-tafsir itu masih bersetia pada pokok-pokok ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah). Dan sepanjang perbedaan itu tidak saling menyalahkan melainkan saling menghormati.

Keragaman tafsir itu bukan saja tidak perlu disesali, melainkan memang keniscayaan. Betapa tidak? Ada perbedaan keluasan dan kedalaman pengetahuan dan perbedaan metodologi penafsiran di kalangan sahabat dan generasi sesudahnya. Di samping itu, ada perubahan zaman yang menuntut respons yang aktual dan sekaligus autentik. 

Di Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat menunjukkan bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan yang terjadi di tubuh umat Islam, dan bagaimana pula merespons perkembangan zaman. Tujuannya tentu agar Islam, sebagai agama rahmat bagi alam semesta, selalu shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap tempat dan waktu).

 

PRAKATA PENULIS
“Bertafakur satu saat lebih baik daripada ibadah satu tahun,” sabda Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah bangsa yang hidup dalam alam yang keras. Ketika orang-orang Arab sibuk mempertahankan hidupnya, ketika hari-hari mereka dipenuhi dengan pergulatan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, Rasul yang mulia menyuruh mereka bertafakur. Apakah sabda Nabi itu relevan dengan tempat dan zamannya? Bukankah tafakur terlalu mewah buat mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan? Bukankah terkenal adagium primum vivere deinde philosophari—hiduplah dahulu baru berfilsafat? Bukankah tafakur itu melangit, padahal masalah hidup sangat membumi?
Tafakur memang mengajak orang naik ke abstraksi yang tinggi, supaya dia turun ke bumi dengan petunjuk yang konkret. Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya revolusi konseptual sebelum revolusi fisik. Tidakan yang tidak didahului tafakur sama jeleknya dengan tafakur yang tidak disusul dengan tindakan. Seorang Muslim dituntut bertindak secara sadar, dengan menggunakan seluruh potensi intelektualnya. Karena itulah Al-Quran bertanya, “Katakan apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat? Tidakkah mereka berpikir? (QS 6: 50) Karena itu juga Rasulullah Saw. menyuruh gembala-gembala unta itu untuk berpikir. Al-Quran dan Sunnah bermaksud membawa mereka ke sebuah transformasi sosial yang disertai kesadaran, bukan kepada rekayasa sosial yang dipaksakan.
Tafakur bertahap sejak renungan sampai kepada pengkajian yang mendalam. The American Heritage Dictionary menjelaskan reflection sebagai konsetrasi pikiran atau pemikiran yang cermat dan hasil dari pemikiran itu dikomunikasikan ataupun tidak. Penerbit Mizan memilih kata “refleksi” dan bukan “tafakur”. Mungkin karena kata itu dianggap lebih komunikatif (atau kedengaran lebih keren). Tetapi—apakah yang dipergunakan refleksi atau tafakur—buku ini sama sekali tidak menyajikan pengkajian yang mendalam. Buku ini hanya menghimpun percikan-percikan pikiran penulis, yang dimaksud untuk konsumsi pembaca media massa. Sesuai dengan sifat media massa yang transient (sekilas), tulisan-tulisan di sini akan mengecewakan Anda yang mencari uraian ilmiah. Banyak artikel ditulis sangat pendek, untuk mengisi rubrik Forum dalam surat kabar Gala atau kolom dalam Tempo, Panji Masyarakat, dan Jawa Pos. Sebagian dari artikel yang panjang—dan saya rasa agak mendalam—tidak diselesaikan. “Prinsip-Prinsip Komunikasi dalam Al-Quran” berakhir pada prinsip qawlan balighan. Empat prinsip lainnya tidak sempat dituliskan. Pembicaraan tentang dosa tidak dilanjutkan dengan terapi Islam untuk menyembuhkan “penyakit” dosa. Hak-hak anak juga baru menyentuh hak akan nama yang baik dan kasih sayang. (Yang lengkap mungkin memerlukan sebuah buku khusus.)
Ala kulli hal, subjudul Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim mungkin dipilih penerbit bukan karena pertimbangan ilmiah. Yang benar, artikel di sini bukan refleksi dan bukan juga berasal dari seorang cendekiawan. Idealnya memang saya ingin bertafakur. Kenyataannya saya mengejar deadline media massa. Dan sebenarnya, saya sedang membanting-tulang untuk naik ke atas garis kemiskinan melalui pekerjaan tambahan di media massa. Walhasil, saya tidak berbeda dari penduduk Jazirah Arabia di zaman Nabi. Saya mendengar panggilannya untuk tafakur, tetapi tafakur saya bergulat dengan mencari sesuap nasi.
Karena itu, setelah menyampaikan syukur kepada Allah Swt., saya ingin menghaturkan terima kasih kepada media massa—khususnya surat kabar Gala di Bandung. Kebanyakan artikel di sini berasal dari Gala. Sisanya pernah dimuat di Tempo, Panji Masyarakat, dan Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Berita Buana, dan—secara tidak sengaja—juga di Kompas. Terimah kasih kepada mereka semua. Kepada Penerbit Mizan, Hernowo dan Yudi Latif, saya sangat menghargai jerih payah mereka untuk menyistemasiskan berbagai tulisan yang tidak sistematis. Kepada Anda, yang membaca buku ini dengan membeli atau meminjam, saya mohon maaf atas judul yang berbunyi lebih bagus daripada isi. Saya mohon: Bacalah buku ini dengan niat bertafakur, supaya mendapat pahala ibadah satu tahun.
Bandung, 17 Mei 1991
Jalaluddin Rakhmat

 

KEMBARA PEMIKIR YANG KESEPIAN

Oleh: Haidar Bagir

Menulis  tentang seorang sahabat yang twlah wafat tak jarang menjadi ziarah yang membuat kita lebih paham akan sosok yang kita ziarahi. Inilah yang saya rasakan ketika mengetik baris-baris di bawah ini.

A being unto death. Demikian Heidegger dalam satu cara mendefinisikan manusia. Ya, begitu lahir, kapan pun manusia bisa mati. Maka, tugas manusia adalah mencari jawaban atas "absurditas" ini, mencari makna dalam kehidupan yang diteror oleh kematian setiap saat. Tapi mati tak mesti teror. Justru kesadaran akan keterbatasan hidup manusia ini bisa menjadikan hidup sangat berharga. Setiap detiknya. Bagaimana caranya? Seperti pernah disampaikan dengan mengutip filosof yang sama, Kang Jalal dalam salah satu episode dari seri videonya yang bertajuk Democracy Project, mari kita sambut dan rencanakan kematian kita. Dan jangan biarkan dia menyergap kita secara tidak semena-mena. Sang Nabi pun mengajarkan, "matilah sebelum kamu mati". Matilah secara suka rela (ikhtiyari). Agar, dengan demikian, mati justru bisa menjadi sumber makna hidup itu sendiri. Lagipula, bagi orang beriman, kematian bukanlah terminal terakhir kehidupan kita, bukan titik di mana kita lantas sirna, tanpa bekas. Orang beriman percaya ada perhitungan, ada ganjaran hukuman dan imbalan kebahagiaan abadi, yang pasti kita akan jumpai setelah kematian:
"(Dialah) Tuhan yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji siapa di antara kalian yang paling sempurna/indah amal-amalnya" (QS. Al-Mulk [67]:2). Maka penting menjalani hidup dengan baik, yang dipenuhi amal-amal yang sempurna. Sebagai hasilnya, dari mata air intelektualitas dan keruhanian Kang Jalal, lahirlah karya yang berjudul Memaknai Kematian. Mungkin juga dengan bertambahnya usia, Kang Jalal makin intens merasakan "intaian" kematian. Maka inilah renungan beliau ketika usianya mencapai 65 tahun, 8 tahun yang lalu:
"Masa telah meninggalkan jejak-jejaknya dalam uban di kepala, dalam rabun di mata, dalam keriput di kulit, dalam keringkihan di seluruh tubuh. Betapa inginnya sang waktu memberikan kepadaku kearifan dalam akalku, kebersihan dalam hatiku, kesucian dalam ruhaniku, dan kezuhudan dalam hidupku. Tapi dalam usia senjaku, aku temukan butir-butir airmata penyesalan karena menghabiskan banyak masa dalam mengejar ambisi pribadi. Aku dapatkan jeritan hati kesedihan, karena malaikat lebih banyak menuliskan keburukanku daripada kebaikanku... 
I'm running out of time now. Lihat jam pasirku menyisakan tinggal sejumput butir pasir di bagian atasnya."

Seorang Murid Tasawuf
Renungan mendalam sangat sufistik seperti ini memang sama sekali tidak aneh jika keluar dari Kang Jalal. 
Sejak muda, bahkan ketika masih dalam usia awal-awal 30 tahunan, saya sudah mendapati karya-karya Martin Buber dan para pemikir eksistensialis lain di rak buku di rumahnya. Saya yakin, Kang Jalal sudah membaca Heidegger pada masa itu. Kenapa tidak, bahkan ketika masih menjadi guru muda SMP Muhammadiyah, konon beliau sudah membaca karya-karya Baruch Spinoza. Kita tahu bahwa Spinoza adalah seorang pemikir panteistik Barat terkemuka. (Dan, bukan tak mungkin pemikirannya ikut menggiring ketertarikan masa kematangan Kang Jalal kepada faham "kesatuan wujud" dalam tasawuf). Kenyataannya, tak sedikit karya-karya tasawuf ditulisnya, belum termasuk berbagai bahan ceramah tentang tema sama yang bertebaran di mana-mana, ada Reformasi Sufistik, Renungan-renungan Sufistik, Madrasah Ruhaniah, Road to Allah, Road to the Rasulullah, dll. 
Waktu itu Kang Jalal sudah dikenal sebagai dosen favorit di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Ditambah wawasannya yang luas dalam bidang filsafat dan ilmu-ilmu lain, dilengkapi dengan penguasaannya atas berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, namanya segera moncer di Bandung—dan belakangan di panggung nasional—sebagai ulama intelektual pembawa warna baru pemahaman Islam. Maka saya mengumpulkan berbagai karya tulis Kang Jalal dan menyusunnya sebagai buku, yang saya beri judul Islam Alternatif. Buku tersebut merupakan bagian dari Seri Cendekiawan Muslim Mizan, yang menampung karya cendekiawan muslim Indonesia masa itu, termasuk Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Amien Rais, dan Quraish Shihab. Buku Kang Jalal ini segera menjadi best seller. 
Setelah itu, terbit kumpulan tulisan lain Kang Jalal, berjudul Islam Aktual. Keduanya belakangan menjadi buku legendaris. Sejak itu, menyusul banyak karya lain Kang Jalal, mungkin total lebih dari 30 buku. Temanya pun mulai bervariasi. Dalam kelompok buku Islam, ada buku tasawuf (termasuk beberapa buku doa), psikologi populer tentang agama dan kebahagiaan, serta kajian sejarah Islam. Tentu saja ia juga menulis beberapa buku daras yang terkait dengan ilmu komunikasi. Sebagian di antaranya tak kalah legendaris, termasuk Psikologi Komunikasi, Rekayasa Sosial, dan Retorika Modern.

Pembela Mustadh'afin
Yang pasti, Kang Jalal adalah potret intelektual beriman, yang memilih untuk memberi makna sebanyak-banyaknya pada hidup yang dibatasi—baca: dimaknai—kematian ini. Hidup untuk membela orang-orang lemah dan berkekurangan, orang-orang yang diperlemah (the oppressed/mustadh'afin). Apakah ini yang menyebabkan Kang Jalal tertarik pada Frantz Fanon, dan Ali Syariati sebagai counterpart Islamnya? Atau, sebaliknya, bacaannya akan Ali Syariati dan Frantz Fanon yang menyebabkan hatinya terbetot pada perjuangan membela kaum tertindas di bumi  (the wretched of the earth) ini? Terbukti, di antara banyak pemikiran manusia genius ini bernama Jalaluddin Rakhmat ini, spiritualitas - dalam bentuk tasawuf, sebagai mazhab cinta dalam Islam - serta pemihakan kepada kaum dhuafa' dan mustadh'afin terasa kental mewarnai. Spiritualitas bagi Kang Jalal, bukanlah semata pelipur bagi kehampaan spiritual manusia modern - sebagaimana dielaborasinya, secara langsung atau1 tidak, di dalam sedikitnya dua buku tentang kebahagiaan, yakni Mencari Kebahagiaan dan Tafsir Kebahagiaan - melainkan juga sumber api cinta kepada sesama makhluk Tuhan. Maka, bersama dengan kajian-kajian sufistik yang meluncur deras dari sumur spiritual Kang Jalal, beliau terjun langsung di dalam aksi-aksi advokasi dan pemberdayaan dhuafa’. Saya tahu betapa kang Jalal, dibantu para muridnya, mengurusi keluarga-keluarga miskin yang tinggal di pinggir-pinggir rel kereta api di Bandung. Lalu, bersama dengan pendirian SMA Plus Muthahhari yang ¹merupakan buah concern-nya terhadap perbaikan kualitas pendidikan di negeri ini, dia pun mendirikan sekolah gratis di Cicalengka. Itu semua belum termasuk berbagai perilaku welas asih personalnya terhadap siapa saja yang datang kepadanya. 

Pejuang Minoritas
Saya sendiri mengenal Kang Jalal—sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat—saat belum benar-benar lulus sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Mungkin saat itu tahun 1980 atau 1981, di Masjid Salman. Saya masih seorang anak muda culun, sementara Kang Jalal baru pulang dari studi masternya di Iowa State University, Amerika Serikat. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk segera melihat keistimewaan-keistimewaan beliau. Wawasannya tentang politik amat luas, pengetahuan agamanya banyak, cara bicaranya pun sangat fasih dan memikat. Segera kami menjadi sahabat. Selisih umur saya dengan Kang Jalal sebetulnya tak sampai sepuluh tahun, tapi keluasan ilmu dan wawasannya menjadikan dia lebih pantas disebut sebagai guru saya
Kang Jalal, di mata orang yang tak paham, bisa tampak sebagai tokoh sektarian karena keterikatannya pada mazhab Syiah yang dipeluknya belakangan, padahal sesungguhnya dia seorang pluralis. Pluralis interagama Islam, maupun antar agama. Dia menulis buku Islam dan Pluralisme. Pada saat yang sama, Kang Jalal juga adalah seorang pejuang hak-hak minoritas. Bukan cuma minoritas Syiah, yang memang merupakan denominasi aliran keislaman yang dipilihnya, Kang Jalal adalah pembela Ahmadiyah, bahkan hak-hak asasi manusia para warga LGBTQ. Sebagai seorang yang pengetahuan agamanya amat luas - Kang Jalal adalah seorang penulis dan pemikir prolifik - tentu dia bukan tidak tahu tentang hukum hadd (pidana) syariah atas praktik-praktik seksual sesama jenis. Tapi, bagi pembaca yang teliti, amat mudah memahami bahwa beliau tidak sedang berbicara mengenai soal ini, melainkan tentang keharusan menjamin terselenggaranya hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara. Memang, terkadang, ke-"lurus"-an, keterusterangan, dan ketajaman pilihan diksinya dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya berpotensi menimbulkan salah paham. Bukan hanya dalam soal pembelaannya terhadap komunitas LGBTQ, melainkan dalam hal-hal lain yang melibatkan kritik terhadap pandangan “normal” kelompok-kelompok mainstream mayoritas di berbagai lapangan kehidupan. Malah, sampai batas tertentu, Kang Jalal adalah orang yang polos. Kalau tidak, tak akan dia, yang pernah berakar di organisasi (PERSIS) yang puritanistik, belakangan seperti berhijrah ke Muhammadiyah yang modernistik, dan ujungnya berlabuh keada mazhab Syiah yang amat esoteristik dan tidak ortodoks. 
Pluralisme dan pembelaan terhadap kelompok minoritas jugalah yang menjadi motifnya masuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini ia sampaikan dalam berbagai kesempatan wawancara dengan media ataupun pembicaraan informal dengan sahabat dan murid-muridnya. Dalam pandangannya, sebagai partai nasionalis sekular, tak ada beban bagi PDI Perjuangan untuk menyokong upaya-upaya menegakkan toleransi beragama dan membela minoritas.    
Lebih-lebih lagi, persoalan-persoalan yang beliau bahas lebih sering amat sophisticated (canggih) dan sulit dipahami kebanyakan orang. Potensi kesalahpahaman pun  menjadi makin besar.

Kang Jalal dan Syiah
Salah satu titik temu di antara kami adalah ketertarikan pada pemikiran para tokoh ulama Iran pasca-Revolusi Islam di negeri itu. Kang Jalal sejak awal adalah pengagum Ali Syariati. Belakangan, kami berdua mengagumi Murtadha Muthahhari. Muthahhari dan Ali Syariati, bersama beberapa intelektual Iran lain, di mata banyak orang pada waktu itu merupakan a new and fresh breed of muslim intellectuals. Mereka memiliki ilmu agama yang mendalam dan luas, bahkan tak jarang beserban, tapi juga punya akar kuat dalam filsafat dan ilmu-ilmu modern.
Studinya tentang pemikiran Islam yang berkembang di Iran belakangan membuatnya jatuh cinta kepada mazhab Syiah. Hingga kemudian, suatu saat, dia tak lagi segan menyebut dirinya sebagai penganut Syiah. Bahkan, karena apa yang akan saya uraikan setelah ini, Kang Jalal belakangan harus tampil sebagai polemisis Syiah vis-à-vis Sunnah.
Sampai di sini, saya tak ingin memberikan kesan keliru bahwa Kang Jalal adalah seorang penganut Syiah fanatik. Kang Jalal jauh lebih besar dari itu. Kalaupun ada yang amat penting dalam urusan Sunnah-Syiah bagi Kang Jalal, pasti itu tidak terkait dengan fanatisme, apalagi bigotri sektarian. Meski tak pernah benar-benar nyaman dengan sikap straightforward (terus terang), bahkan blunt (menonjok) a la Kang Jalal, saya tahu pasti yang hendak dikejar Kang Jalal bukan cuma menang-menangan dan monopoli kebenaran. 
Kita tentu saja boleh berbeda pendapat, bahkan kita katakan Kang Jalal bisa juga salah, tapi beliau sebenarnya adalah orang yang ingin standar-standar pemahaman yang ilmiah, ketat (stringent), dan bisa dipertanggungjawabkan secara historis selalu diterapkan dalam cara kita memahami Islam. Dan kita tak boleh lupa, meski mazhab Syiah yang dipeluknya adalah semacam esoterisme dalam Islam, aliran pemikiran Islam yang paling menarik hatinya adalah al-hikmah al-muta'aliyah (teosofi transenden), yakni sejenis filsafat yang mengombinasikan dan membangun sistemnya pada epistemologi iluministik (isyraqiyah) serta ontologi paham kesatuan wujud (wahdah al-wujud atau tawhid wujudi). Meski percaya pada pencapaian kebenaran secara langsung (immediate) dan mistis, aliran ini ngotot menuntut verifikasi secara logis-analitis. Di atas semuanya itu, Kang Jalal adalah seorang pengajar dan penulis ahli tentang metodologi penelitian. Semuanya menuntut penerapan disiplin ilmiah tanpa kompromi.
Nah, yang tergolong garapan pendekatan ilmiah ketatnya ini adalah studinya terhadap sahabat Nabi. Kita tahu, sahabat Nabi adalah sekelompok orang yang diterima oleh mayoritas muslim (Ahlus-Sunnah) sebagai salah satu sumber kebenaran keagamaan yang tak boleh dipertanyakan. Sedangkan Kang Jalal, dan ini pasti bukan tak terkait dengan kecenderungannya terhadap cara pandang Syiah, tak percaya bahwa semua (sic) sahabat Nabi—yang didefinisikan secara indiskriminatif sebagai siapa saja muslim yang bertemu dengan Nabi—tak bisa bersalah dan keliru ('udul), sedemikian sehingga semua pendapat dan perbuatannya bisa menjadi teladan dan panduan. Bagaimana itu mungkin? Bukankah para sahabat sendiri kadang berbeda pendapat, berkonflik, bahkan berperang satu sama lain? Begitu pikir Kang Jalal.
Maka tak terhindarkan, dia harus mengizinkan sikap kritis kepada para sahabat hingga sejauh mengungkapkan bukti-bukti kesalahan mereka demi mendukung argumentasinya. Dan, bagi kebanyakan muslim yang tak terbiasa dengan keterbukaan seperti ini, apalagi yang berada di bawah pengaruh sejarah konflik antarmazhab yang @tak jarang sampai berdarah-darah, sikap kritis semacam itu merupakan suatu bidah besar dan mudah sekali terdengar sebagai pencelaan, pengecaman, bahkan pelaknatan terhadap para sahabat. 
Jadilah Kang Jalal dikutuk banyak orang akibat pendiriannya ini. Sampai-sampai penyusunan dan pengujian disertasinya, yang mengambil topik studi kritis atas sahabat Nabi, banyak terhambat, bahkan hampir ia hentikan. Tapi bukan Kang Jalal kalau menyerah kepada tekanan. Apalagi ketika sampai pada prinsip kebenaran ilmiah yang dipegangnya erat-erat. Maka inilah ikrar yang Kang Jalal tulis dalam pengantar disertasinya: “Saya bukan orang pertama yang dihujat. Saya ingin menampilkan sejarah seperti apa adanya. `Wie es eigentlich gewesen`. Saya ingin menjadi Abu Dzar, yang dilemparkan sendirian ke padang pasir karena komitmennya kepada sabda Nabi SAW. Katakan yang benar walaupun pahit!”

Lagi pula, bagaimana mungkin Kang Jalal bisa menjadi pencela dan pemecah belah kaum muslim, sementara dia seseorang yang amat percaya pada pluralisme? Bahkan, dalam hal hubungan di antara berbagai kelompok dan mazhab dalam Islam, Kang Jalal adalah penganjur persatuan dan pendekatan antarmazhab. Saya bahkan tahu persis bahwa dia memilih nama (Murtadha) Muthahhari sebagai nama yayasan yang ia dirikan, antara lain, karena sikap moderat dan penuh semangat persatuan dari sosok ini. 
Akhirnya, tak ada yang lebih tepat untuk menggambarkan pergulatan hidup Kang Jalal daripada kata-kata Nietzsche ini: “Seorang individu harus selalu menjaga dirinya dari cengkeraman (perilaku) kesukuan. Jika kau mencobanya, kau akan sering disergap kesepian, kadang ketakutan. Tapi tak ada harga yang terlalu tinggi untuk tetap memiliki dirimu sendiri.”
Dan, seperti keluhan Iqbal di ujung hidupnya, kita bisa bayangkan Kang Jalal mengungkapkan curhat yang sama: 
"Telingaku bukanlah untuk zaman ini
’Ku tak butuh telinga masa ini
Akulah suara penyair esok hari
Zamanku tak paham kedalaman makna-maknaku
Yusufku bukanlah buat pasar ini...
Ya, memang barangkali Kang Jalal bukan sepenuhnya untuk telinga zaman kita. Apalagi inilah zaman di mana populisme menggeretak, hoaks dan post truth mencengkeram, pun mesin algoritma media-media sosial menjerebak.
Dibutuhkan tak kurang dari hati terbuka dan penuh permakluman, dan akal jernih dan canggih, untuk bisa mengambil manfaat maksimum bebas kemurkaan dari kembara Kang Jalal.
Akhirnya, dengan penuh takzim kita ucapkan: Selamat Jalan, Kang Jalal. Selamat menikmati keheningan dan kebeningan tanpa kegaduhan, bercengkerama dengan Kekasih yang permaafannya seluas bumi dan langit. 
Ya. Selamat mangkat, Kang Jalal. Doa kami, kau sekarang tak lagi kesepian, tenteram di pelukan Sahabat Agung-mu, yang kau dambakan selama ini, sepanjang hidupmu.  
Doakan, dari atas sana, agar kami bisa merawat dan menyemaikan peninggalan-peninggalan kembara pemikiran, ajaran cinta, dan aksi-aksimu membela kaum lemah dan minoritas yang tertindas demi semua warga negeri ini.
Antum sabiqun, wa nahnu lahiqun (Engkau lebih dulu, dan kami akan menyusulmu)….

*Tulisan ini merupakan pengggabungan, dengg sedikit penyuntingan di sana-sini, dari tulisan oleh penulis yg sama, di Harian KOMPAS dan Majalah TEMPO