Aku mesti mengajukan pertanyaan serius kepadamu, Georg,
dan itulah sebabnya aku menulis. Akan tetapi,
agar mampu mengajukan pertanyaan ini
pertama-tama aku harus menyampaikan cerita sedih.
Bagaimana perasaanmu jika mendapat surat seperti di atas dari ayahmu yang meninggal sebelas tahun lalu?
Itulah yang dialami oleh Georg Røed pada usianya yang ke-15. Dia tak habis pikir mengapa ayahnya, di kala menjelang wafat, memutuskan untuk menuliskan kisah cintanya dengan seorang gadis misterius. Si Gadis Jeruk, demikian ayahnya menyebut gadis tersebut. Siapa sebenarnya si Gadis Jeruk itu? Dan mengapa pula ayahnya menanyakan kabar Teleskop Ruang Angkasa Hubble?
Bersama Georg, kamu akan diajak menjelajahi sebuah dunia yang di dalamnya kehidupan nyata dijalani seperti dalam dongeng. Dari sebuah kisah cinta, beralih ke perenungan tentang alam semesta, sampai pada pertanyaan filosofis tentang hidup, sebuah pertanyaan yang menentukan makna hidup.
AYAHKU MENINGGAL sebelas tahun yang lalu. Waktu itu, aku baru berusia empat tahun. Kupikir aku takkan pernah mendengar apa-apa lagi darinya, tapi kini kami sedang bersama-sama menulis sebuah buku.
Ini adalah kalimat-kalimat pertama buku tersebut, dan akulah yang menuliskannya, tapi Ayahku akan mendapatkan gilirannya nanti. Dialah yang akan bercerita paling banyak.
Aku tidak yakin seberapa kuat ingatanku tentang Ayah. Sepertinya aku hanya mengira bahwa aku ingat dia lantaran aku begitu sering melihat foto-fotonya.
Satu-satunya hal yang aku benar-benar yakin bisa kuingat adalah apa yang terjadi ketika kami duduk di beranda memandangi bintang-bintang.
Dalam salah satu foto itu, aku duduk di samping Ayah di atas sofa kulit berwarna kuning di ruang tengah. Dia tampak seperti sedang mengatakan sesuatu yang menyenangkan kepadaku. Sofa itu masih ada di sini, tapi Ayah tidak lagi duduk di situ.
Pada foto yang lain, kami berada di kursi goyang hijau di rumah kaca. Foto tersebut di gantung di sini semenjak Ayah meninggal. Aku sekarang sedang duduk di kursi goyang hijau itu. Aku berusaha untuk tidak bergoyang karena aku sedang menulis di sebuah buku catatan besar. Nanti, aku akan mengetikkan semuanya pada komputer tua Ayah.
Ada juga cerita seputar komputer tua itu, tapi itu akan kuceritakan nanti.
Aneh rasanya melihat foto-foto tua itu di sini. Foto-foto itu berasal dari zaman yang berbeda. Di dalam kamarku, ada satu album penuh foto-foto Ayah. Cukup ganjil rasanya memiliki begitu banyak gambar seseorang yang sudah tidak hidup lagi. Kami juga punya rekaman video Ayah. Aku merasa takut mendengar suaranya. Ayahku punya suara yang sangat dalam.
Barangkali menonton video seseorang yang tidak di sini lagi, atau “orang yang sudah pergi duluan” seperti kata Nenek, harus dianggap melanggar hukum. Tidak enak rasanya memata-matai orang yang sudah mati.
Aku juga bisa mendengar suaraku di beberapa rekaman video itu. Bunyinya melengking tinggi. Mengingatkanku pada anak ayam.
Begitulah keadaannya pada waktu itu: Ayah bass dan aku treble. Pada salah satu video itu, aku bertengger di bahu Ayah, mencoba meraih bintang dari puncak pohon Natal. Saat itu, aku berusia tidak lebih dari satu tahun, tapi aku hampir bisa menariknya lepas.
Ketika Ibu menonton video Ayah dan aku, dia kadang-kadang tertawa tergelak-gelak, padahal dialah yang memegang kamera video dan yang memfilmkannya. Kupikir, mestinya dia tidak tertawa ketika menonton rekaman video Ayah. Kupikir Ayah tidak akan suka itu. Barangkali dia akan bilang itu melanggar aturan.
Dalam video yang lain, aku dan Ayah sedang duduk di luar pondok kayu kami di Fjellstølen di siang Paskah, masing-masing memegang setengah butir jeruk. Aku sedang mencoba mengisap air jeruk dari setengah bagianku tanpa mengupasnya. Pikiran Ayah mungkin sedang melayang ke jeruk yang lain sama sekali; sesungguhnya aku cukup yakin akan itu.
Tidak lama setelah Paskah itulah Ayah jatuh sakit. Dia sakit selama lebih dari enam bulan, dan dia khawatir akan meninggal. Kupikir dia tahu dia akan meninggal.
Ibu sering mengatakan bahwa yang paling membuat Ayah sedih lebih dari segalanya adalah bahwa dia mungkin akan mati sebelum bisa mengenal aku lebih baik. Nenek juga mengatakan begitu, hanya melalui cara yang lebih misterius. Suara Nenek selalu jadi bernada lucu ketika berbicara kepadaku tentang Ayah. Aku kira itu tidak terlalu aneh. Nenek dan Kakek kehilangan seorang putra yang sudah dewasa. Aku tidak tahu bagaimana rasanya. Untungnya, mereka masih punya seorang putra lagi yang masih hidup. Tapi, Nenek tidak pernah tertawa ketika dia melihat foto-foto lama Ayah. Dia tetap diam hening. Dia menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Sepertinya, Ayah sudah berkesimpulan bahwa mustahil bisa bicara serius dengan seorang anak laki-laki berusia tiga setengah tahun. Sekarang aku paham mengapa dia berpikiran begitu, dan kalian, para pembaca, juga akan segera paham.
Aku punya sebuah foto Ayah ketika sedang terbaring di rumah sakit. Dalam foto itu, wajahnya sangat kurus. Aku duduk di lututnya, sementara dia memegang erat tanganku agar aku tidak jatuh menimpanya. Dia mencoba tersenyum kepadaku. Ini hanya beberapa minggu sebelum dia meninggal. Aku berharap aku tidak mempunyai foto itu, tapi karena aku sudah memilikinya, aku tidak bisa membuangnya. Aku bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya.
Sekarang aku berumur lima belas tahun, atau tepatnya lima belas tahun tiga minggu. Namaku Georg Røed. Aku tinggal di Humleveien—“Jalan Tawon Kumbang”—di Oslo bersama Ibuku, Jørgen, dan Miriam. Jørgen adalah ayah tiriku, tapi aku memanggilnya Jørgen saja. Miriam adalah adik bayiku. Dia baru delapan belas bulan dan terlalu muda untuk bisa bicara jelas.
Tentu saja tidak ada foto atau video lama yang berisi Miriam dan Ayahku. Jørgen adalah ayah Miriam. Aku anak Ayah satu-satunya.
Akan ada beberapa rahasia menarik tentang Jørgen di bagian akhir buku ini. Rahasia itu masih belum boleh kubukakan sekarang, tapi kalau kamu terus membaca, kamu akan tahu.
Setelah Ayah meninggal, Nenek dan Kakek datang ke sini dan membantu Ibu menyortir seluruh barangnya. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ada satu barang penting peninggalan Ayah, yaitu sebuah cerita panjang yang telah ditulis Ayah sebelum dia masuk rumah sakit.
Pada saat itu, tak seorang pun tahu bahwa Ayah pernah menulis sesuatu. Cerita “Gadis Jeruk” baru ditemukan pada hari Senin ini. Nenek masuk ke gudang, dan di sana dia temukan sebuah naskah tersimpan di balik pelapis kereta dorong merah milikku ketika kecil.
Entah bagaimana naskah berada di sana, itu sebuah misteri. Tentu itu bukan sekadar kebetulan karena cerita yang ditulis Ayah ketika aku berumur tiga setengah tahun itu ada hubungannya dengan kereta dorong itu. Maksudku bukanlah bahwa naskah itu bercerita tentang kereta dorong, bukan, tapi Ayah menulis seluruh cerita yang panjang itu untukku. Dia menulis cerita “Gadis Jeruk” itu agar aku bisa membacanya ketika aku sudah cukup besar untuk memahaminya. Dia menulis surat untuk masa depan.
Jika benar bahwa Ayahlah yang menjejalkan seluruh naskahnya ke dalam pelapis kereta dorong tua itu, dia tentu sangat meyakini pernyataan bahwa pada akhirnya surat akan selalu sampai ke alamat tujuannya. Terpikir olehku bahwa demi alasan keamanan, ada baiknya kita memeriksa seluruh barang tua sebelum memberikannya ke loakan atau membuangnya begitu saja. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak surat tua dan barang semacamnya bisa ditemukan di tumpukan sampah.
Hal ini cukup sering memenuhi benakku dalam beberapa hari terakhir. Aku pikir mestinya ada cara yang jauh lebih sederhana untuk mengirim surat ke masa depan daripada menjejalkannya di balik pelapis kereta dorong.
Sesekali kita ingin seseorang membaca tulisan kita empat jam, empat belas hari, atau empat puluh tahun setelah kita menuliskannya. Demikianlah halnya dengan cerita “Gadis Jeruk” ini. Cerita itu ditulis untuk Georg yang berusia dua belas atau empat belas tahun, seorang bocah laki-laki yang belum pernah ditemui Ayah, dan yang barangkali takkan pernah ditemuinya selama hidupnya.
Tapi, sekarang sudah waktunya untuk mengawali ceritaku.
Kurang dari satu minggu yang lalu, sepulang dari les musik, kulihat Kakek dan Nenek sedang berkunjung. Ini adalah sebuah kejutan. Mereka tiba-tiba datang dengan mobil dari Tønsberg dan menginap hingga pagi berikutnya.
Ibu dan Jørgen juga ada. Mereka berempat sedang duduk seperti menanti-nanti sesuatu ketika aku masuk ke dalam dan menendang lepas sepatuku. Sepatuku basah dan berlumpur, tapi tak seorang pun memedulikan. Ada hal lain yang memenuhi pikiran mereka. Aku bisa merasakannya.
Ibu bilang Miriam ada di kamar tidur, dan tampaknya memang benar demikian karena Nenek dan Kakek ada di sana. Ya, mereka memang bukan nenek dan kakek Miriam. Miriam punya Nenek dan Kakek sendiri. Mereka juga orang-orang yang baik, dan kadang-kadang mereka datang mengunjungi kami, tapi orang bilang darah lebih kental daripada air.
Aku pergi ke ruang tengah dan duduk di karpet, sementara orang-orang yang lain kelihatan begitu khidmat sehingga kupikir telah terjadi sesuatu yang serius. Aku tidak ingat apakah aku melakukan kesalahan di sekolah dalam beberapa hari kemarin, aku pulang ke rumah dari les piano pada waktu seperti biasanya, dan sudah berbulan-bulan berlalu sejak aku terakhir kali mengambil koin sepuluh kroner dari lemari samping dapur. Jadi, aku bertanya, “Apa yang terjadi?”
Mendengar itu, Nenek langsung mulai menceritakan bagaimana mereka menemukan sepucuk surat yang ditulis Ayah untukku persis sebelum dia meninggal. Aku merasa perutku kejang. Aku bahkan tidak yakin jika aku bisa mengingat Ayah. Sepucuk surat dari Ayah benar-benar terdengar formal, nyaris seperti sebuah wasiat.
….