Share

share icon share icon share icon

KITALAH YANG ADA DI SINI SEKARANG

By Jostein Gaarder
Penulis : Jostein Gaarder
Penerbit : MIZAN PUBLISHING
SKU : UA-99
ISBN : 978-602-441-271-5
Berat : 220 gram
Dimensi P-L-T : 13 X 21 CM
Total Halaman : 240 Halaman
Jenis Cover : Soft Cover

Leo, Aurora, Noah, Alba, Julia, Máni, Cucu-Cucu Kesayanganku,
Hari ini aku membolak-balik buku Dunia Sophie yang kutulis lebih dari 3 dasawarsa lalu.
Bak disambar petir, aku tersadar ada satu pertanyaan penting yang belum kutanyakan.
Itu seakan-akan membuka sebuah ruang besar kosong dalam diriku.
Karena itulah, aku menulis surat ini untuk kalian.

 

Jostein Gaarder mencoba mencari jawaban atas pertanyaan terpenting itu, kemudian menuliskannya dalam bentuk surat untuk cucu-cucunya dan seluruh pembaca di dunia. Mulai dari menguak momen keajaiban yang pernah dialaminya ketika kecil, mengamati kepik rerimbunan hutan, memperbandingkan antara ahli ortopedi dan astronaut, hingga mitologi Nordik. Dengan lugas dan menyenangkan, Jostein mengajak para cucunya dan pembaca untuk menyadari bahwa Kitalah yang Ada di Sini Sekarang, di Bumi ini, di Semesta ini, di Waktu Geologis saat ini. 

 

“Bacaan bagus untuk generasi milenial, menjelaskan mengapa kehidupan ini tetaplah ajaib,
meskipun kini sains seolah-olah bisa menjelaskan segalanya. Percaya, harapan, dan
kasih sayang tetaplah hal utama bagi masa depan manusia.”
Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Pakar Filsafat

 

 

Jostein Gaarder adalah sosok di balik Dunia Sophie. Sebuah buku yang terus bertahan menjadi bestseller sejak terbitnya dan merupakan buku pengantar filsafat paling populer hingga saat ini. Tetapi, ternyata menurut penulisnya sendiri, ada satu pertanyaan terpenting yang tertinggal. Sebuah pertanyaan yang mengguncang fondasi filsafat hidup seorang Jostein Gaarder. Apakah pertanyaan itu? Nah, melalui buku terbarunya, Jostein mengajak pembaca mencari jawabannya.

 

 

 

 

Sayangku Leo, Aurora, Noah, Alba, Julia, dan Máni

 

Aku duduk di depan layar komputer untuk menuliskan sepucuk surat kepada kalian, dan tepat saat ini ada rasa menggelitik di perutku. Aneh rasanya berhubungan dengan kalian dengan cara ini.

Rencananya apa yang kutuliskan ini juga akan menjadi sebuah buku kecil yang bisa dibaca orang. Tulisan semacam ini—yang bisa dibaca oleh siapa pun, meskipun awalnya ditulis untuk orang tertentu, atau hanya sedikit orang—biasanya disebut sebagai sebuah “surat terbuka”. Kalian juga tidak bisa membaca surat ini sebelum dicetak. Tapi itu takkan menjadi masalah buat kalian, karena aku juga tidak akan bercerita soal buku ini sebelum “terbit”, yaitu dipublikasikan oleh sebuah penerbit. Aku tak sabar menanti saatnya menyerahkan buku ini ke tangan kalian satu per satu. Itu sudah kurencanakan jauh-jauh hari, dan aku bisa mem bayangkannya sebagai sebuah momen yang khidmat, baik bagi kalian dan bagiku juga. Kita lihat nanti apakah kalian menerima surat ini dariku satu per satu, atau kita bisa mengadakan pesta merayakan acara pemberian buku ini di rumah salah satu dari kita.

***

Ini bukan pertama kalinya aku menulis surat seperti ini. Beberapa bukuku terdahulu ada yang berbentuk demikian, tapi dibuat untuk tokoh-tokoh rekaan.

Satu-satunya pengecualian adalah surat dari seorang wanita—yang kutulis sendiri dengan senang hati—kepada seorang uskup terkenal dan “Bapa Gereja”1 yang hidup di Afrika Utara 1.600 tahun lalu. Aku ingin memberi wanita ini suara, seperti kata orang. Wanita itu ada sungguhan, yang kita kenal lewat Confessions (Pengakuan-Pengakuan), tulisan uskup itu sendiri, tapi kita tak tahu banyak soal wanita itu selain dari Bapa Gereja pada suatu hari meninggalkannya setelah bertahun-tahun hidup bersama. Kita bahkan tidak tahu siapa nama wanita itu, tapi aku memberinya nama Floria Aemilia.2

Sang uskup tentu saja tak pernah membaca surat dari Floria, tapi aku ingin sebanyak mungkin pengikut uskup itu berkesempatan membacanya, dan dalam buku ini aku bermain-main dengan gagasan bahwa dia menerima sepucuk surat dari wanita malang, yang dulu sangat dicintainya itu.

Namun, sang Bapa Gereja telah menentukan pilihannya. Dia lebih memilih kehidupan kekal di akhirat nanti ketimbang cintanya kepada seorang wanita di kehidupan dunia ini. Dia bahkan ber[1]anggapan bahwa hal yang satu bisa menutup hal yang lain.

Yang mungkin penting untuk kita perhatikan adalah bagaimana dia bisa mengorbankan sebagian besar dari kehidupan di dunia ini demi keyakinan tentang dunia lain. Problematika ini tidak kehilangan aktualitasnya setelah 1.600 tahun berlalu, dan ini adalah salah satu dari berbagai pertanyaan filsafat kehidupan yang ditampilkan dalam buku ini.

***

Benar-benar hal baru bagiku untuk menulis sepucuk surat terbuka kepada orang-orang nyata yang hidup hari ini. Umur kalian berbeda-beda, saat aku menulis ini, dari yang baru beberapa minggu sampai yang hampir 18 tahun, tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Tapi kalian punya kesamaan, dan yang kumaksud bukanlah bahwa kalian memiliki kakek yang sama. Tidak, tidak, yang kumaksud sama sekali berbeda dan jauh lebih penting: Kalian semua terlahir di abad ke-21, dan sebagian besar dari kalian, mungkin keenam-enamnya, akan hidup di sepanjang abad ke-21 sebelum kalian—di usia senja—semoga sempat menikmati datangnya abad ke-22.

Aku sendiri lahir di pertengahan abad ke-20. Artinya naskah ini akan bertahan selama lebih dari 150 tahun. Aku tidak segan-segan menyatakan bahwa 150 tahun inilah yang akan menjadi momen-momen yang paling menentukan dalam masa kehidupan umat manusia, dan oleh karena itu juga sejarah planet kita.

***

Ada yang ingin kuceritakan kepada kalian, dan ada beberapa sudut pandang yang ingin kusampaikan kepada kalian. Maksudku berbagai sudut pandang soal kehidupan, soal peradaban manusia, dan soal planet kita yang rentan ini di alam semesta. Kuharap aku bisa menyampaikan semua ini sebagai sebuah renungan yang cukup koheren. Tapi aku akan juga berusaha memusatkan perhatian kepada sebuah tema tertentu satu per satu.

Aku juga akan menyuguhkan pertanyaan kepada kalian sepanjang jalan. Satu-dua pertanyaan itu mungkin jawabannya takkan pernah kudapatkan sendiri, tapi sebagian besar pada suatu saat nanti kalian akan bisa menjawabnya, kalau kalian mau membaca surat ini (lagi!) pada suatu hari menjelang pergantian abad. Janganlah mencoba menjawab pertanyaanku. Jawaban-jawaban itu takkan sampai padaku, seperti surat Floria yang takkan sampai ke tangan uskup dari Afrika Utara itu.

Orang dengan mudah bisa menyatakan sesuatu kepada penerusnya, atau kepada generasi sesudahnya. Tapi mereka yang datang sesudah kita, takkan pernah bisa menoleh ke belakang dan meneriakkan jawabannya.

***

Untuk menjelaskan maksudku, aku akan bertanya seperti ini:

Bagaimana wajah dunia ini menjelang akhir abad ke-21?

Mungkin ada gunanya menyuguhkan pertanyaan ini sekarang—lebih cepat lebih baik—karena meski pun belum ada yang tahu jawabannya sekarang, sebenarnya terserah pada kita yang hidup sekarang ini, untuk menentukan wajah akhir abad ke-21. Namun, “terserah kita untuk menentukan wajah akhir abad ke-21” mungkin sebuah pernyataan berlebihan, ya, terlalu berlebihan. Tapi kalian pasti mengerti apa yang kumaksud, dan jauh di kemudian hari nanti kalian akan berkesempatan lagi untuk merenungkan kenapa kakek memilih kata-kata seperti itu dulu.

***

***

Umur kalian berbeda-beda, dan kalian yang paling muda, sebaiknya menunggu beberapa tahun sebelum membaca tulisanku ini. Aku berbicara kepada cucu-cucuku yang sudah dewasa, dan dewasa maksudku adalah berusia sekitar 16-17 tahun ke atas. Jadi Aurora dan Leo sudah cukup umur untuk ikut bersama kakek dalam rangkaian pemikiran berikut, setidaknya secara garis besarnya. (Kadang-kadang mungkin kalian perlu mencari referensi di semacam ensiklopedia, karena aku pasti akan menggunakan banyak kata dan gagasan yang tidak lazim). Tapi aku juga berharap buku ini bisa dibaca berkali-kali nantinya setelah masing-masing kalian telah menjadi dewasa dan punya lebih banyak pengalaman hidup. Karena itulah aku juga menulis ini untuk Noah, Alba, dan Julia. Dan aku juga menulis untukmu, si kecil Máni. Selamat datang ke dunia ini! Aku membayangkan kalian semua saat aku menuliskan kalimat-kalimatku selanjutnya. Ada enam wajah anak-anak yang selalu kubayangkan. Sebuah kesempatan yang luar biasa, dan sebuah keistimewaan! Enam orang anak warga dunia!

_____________

1 Aurelius Augustinus, lahir di Tagask, Afrika Utara, 354 M.—peny.

2 Vita Brevis: A Letter to St. Augustine.—peny.

 

 

 

 

Dunia yang Penuh Keajaiban

 

 

Aku tumbuh di sebuah daerah yang dulu adalah daerah pinggiran baru Kota Oslo. Tonsenhagen nama daerahnya, dan aku pindah saat umur 34 tahun. Aku tinggal di sana selama kira-kira 10 tahun, dan yang masih kusimpan dari tahun-tahun masa kecil di daerah sepi ini, adalah sejumlah kenangan yang jelas tapi tidak saling berhubungan, seperti dari dalam sebuah kaleidoskop tua.

Salah satu dari fragmen-fragmen itu akan kutampilkan di sini, dan itu adalah salah satu yang paling jelas gambarannya.

***

Pada suatu tengah hari, mungkin hari minggu, tiba-tiba aku merasa seperti melihat dunia ini untuk pertama kalinya. Rasanya seperti membuka mata di dunia penuh keajaiban. Kicauan burung terdengar seperti suara seruling dan denting kaca. Di jalanan, anak-anak bermain-main. Segala hal seakan sebuah petualangan. Dan di sinilah aku. Aku berada di tengah-tengah sebuah rahasia, di dalam sebuah teka-teki yang tak terpecahkan, terbungkus di dalamnya. Rahasia yang telah menarikku ke dalam sebuah realitas lain, sebuah gelembung lain, dengan sentuhan Putri Salju dan Cinderella. Rapunzel. Si Tudung Merah.

Momen keajaiban itu hanya berlangsung beberapa detik, penuh misteri, tapi manisnya kejutan itu berdiam di badan hingga lama sesudahnya, dan tak pernah terlepas dari diriku sejak saat itu.

Selama detik-detik itu juga aku mengetahui untuk pertama kalinya bahwa aku akan mati. Itu adalah harga yang harus dibayar untuk berada di sini.

Aku sedang berada di dalam sebuah petualangan sekarang, dan luar biasa rasanya, seperti mendapatkan suatu keinginan yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi di sini kita sekadar berkunjung. Pikiran ini serasa sangat mengusikku. Bahwa di sini bukanlah tempatku, bahwa ini bukan tempat permanenku.

Yang kupunya hanyalah sebuah ikatan sementara dengan dunia ini selama masih ada. Selama aku masih ada.

Ini bukanlah rumahku. Bocah-bocah seperti peri itulah yang tinggal di sini.