Ide-ide dan sepak terjangnya sering bernada kritis dan mengejutkan. Minatnya luas, mencakup berbagai masalah hangat di bidang sosial, budaya, dan politik. Buku ini jelas memperlihatkan sosok penulisnya, Emha Ainun Nadjib, sebagai cendekiawan yang kritis sekaligus penyair yang kerap lebih suka menafikan aturan-aturan konvensional. Di dalamnya, Emha menuangkan segenap gagasan dan uneg-uneg-nya tentang “persoalan-persoalan darurat bagi bangsa yang berduka”.
Kata Pengantar
SLILIT sang kiai adalah “kumpulan kolom”, bukan “buku”. Artinya, kumpulan ini bukan paparan gagasan yang sejak semula secara sadar disusun dalam suatu rakitan sistemik, sebagaimana lazimnya sebuah buku disusun. Ibarat pementasan di panggung, kolom-kolom ini adalah sederetan lagu yang masing-masing mengalir sendiri-sendiri, meskipun penyusunannya diupayakan agar aliran-aliran itu bertemu di sana-sini dan membangun suatu keutuhan nuansa.
Cara membaca “kumpulan kolom” dengan demikian juga berbeda pola intensitas, konsentrasi, dan ritmenya dibanding dengan cara membaca “buku”. Kita bisa mendengarkan satu nomor lagu pada suatu sore yang senggang, kemudian esok harinya kita putar lagi kaset untuk sebuah lagu lain yang bisa tak usah ada hubungannya dengan lagu kemarin sore.
Juga, kolom bukan artikel ilmiah, makalah diskusi, atau lembaran kertas kerja. Kolom tidak berambisi untuk menyajikan sebuah argumen yang dibangun secara ketat dengan dukungan data empirik yang “akurat”. Kolom lebih merupakan obrolan yang ringkas, namun cerdas dan memikat.
Barangkali hal itu yang menyebabkan kolom tidak terjebak oleh bahasa-bahasa teknis yang kelewat akademis sehingga kaku dan kering. Sebuah kolom lebih suka menggedor perasaan dan kesadaran manusia tanpa harus terjatuh pada beban discourse akademis. Bahkan, terkadang berangkat dari “sekadar” fenomena keseharian yang mungkin remeh, meskipun tidak menabukan tema-tema makro, gelombang sejarah manusia, persoalan politik, ekonomi, serta problem-problem kebudayaan.
Sejumlah tulisan yang dihimpun dalam kumpulan ini berasal dari kolom-kolom yang dipublikasikan di media massa dalam rentang waktu yang panjang. Dan sesungguhnya, masing-masing bersifat otonom serta berdiri sendiri secara utuh. Oleh karena itu, pembaganan dan sistematisasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang mutlak diperlukan. Siapa pun bisa memulai membaca dengan membelahnya di tengah, atau bahkan dari paling belakang.
Meskipun demikian, kolom-kolom ini dikumpulkan tetap dengan upaya sistematika, atas sejumlah pertimbangan.
Pertama, kolom-kolom yang berdekatan secara tematik, ketika dibaca berurutan akan menjanjikan sesuatu nuansa wacana sendiri. Dengan begitu, kedua, kita bisa mencoba mengenali obsesi sang penulis tentang ideal-ideal tertentu. Kita bisa pula lebih mengenali sudut pandang dan sikap penulis yang khas tentang berbagai macam persoalan.
Bagian Pertama kumpulan ini diikat oleh tema-tema keagamaan, dalam hal ini Islam, meskipun bukan tidak merambah perspektif religiositas dalam arti luas. Teristimewa berkisar pada—kami menyebutnya—“pe relatif-an” syariat, di tengah situasi pemelukan Islam di mana syariat “dipuja” sedemikian rupa dan diposisikan paling substantif di antara dimensi-dimensi ke-Islam-an lainnya. Penulis memaparkan berbagai ilustrasi untuk menggambarkan “keringnya penghayatan” karena “konsentrasi ritus” dan “kecenderungan menuhankan syariat, bahkan fiqih”.
Secara tak langsung jadinya penulis juga melakukan semacam ijtihad atau reinterpretasi atas nilai-nilai agama. Sebuah contoh lugas dapat kita temukan dalam tulisan “Makan-Minum Dak Tentu”: aktivitas makan, dalam pengertian baku syariat dikategorikan sebagai mubah atau boleh. Namun, dalam situasi tertentu, menurut penulis, kegiatan makan bisa berubah menjadi sunnah, wajib, bahkan bisa juga haram. Tampaknya yang dimaksudkan oleh penulis adalah illat suatu pekerjaan, atau rujukan terhadap kontekstualisasi suatu kegiatan.
Pada tulisan lainnya tampak sekali “pe-relatif-an” syariat ini merupakan tema yang paling “rajin” disentil. Tentulah yang sesungguhnya ia upayakan adalah proses pendewasaan manusia dalam memahami dan menghayati agamanya. Sebagai ilustrasi barangkali bisa dituturkan ungkapan penulis tentang stratifikasi kualitatif bahwa, “di atas fiqih ada akhlak, di atas akhlak ada takwa”. Dijelaskan bahwa fiqih harus mengacu (baca: meningkatkan taraf kualitasnya) ke akhlak, agar akhlak berorientasi ke tingkat kematangan religius yang lebih tinggi, yakni takwa. Shalat lima waktu adalah fiqih. Tetapi output-nya adalah akhlak sosial. Tolok ukur mutu beragama seseorang terutama terletak pada output sosial tersebut. Demikian juga takwa di atasnya: serat-serat halus ruhaniah yang tecermin tidak terutama pada jumlah dan kerajinan shalatnya, tetapi pada kepribadian seseorang dan perilaku sosialnya.
Dalam sejumlah ceramah lepas, penulis sering menjelaskan masalah tersebut melalui ilustrasi keseharian. “Kalau ada pengemis di jalan, kita tidak diwajibkan oleh fiqih maupun pasal hukum formal apa pun untuk menyantuninya. Artinya, kita tak akan dipersalahkan kalau mentakacuhkannya. Tapi dimensi akhlak mempersalahkan kita, apalagi takwa. Itu bukti bahwa fiqih ‘belum dewasa’ dibanding dengan akhlak dan takwa. Fiqih mewajibkan kita berzakat dua setengah persen, umpamanya, sementara akhlak mungkin 20 persen, takwa 90 persen ….”
Pada sisi lain dari kumpulan tulisan ini penulis banyak menekankan fungsi ganda tasawuf. Di satu sisi, tasawuf memperkaya proses penghayatan keagamaan seseorang atau komunitas Muslim, di sisi lain membuka pintu masuk untuk merambah persoalan aktual masyarakat luas. Bahwa agama tidak semata-mata berkomponen ritus. Tetapi, di setiap jengkal persoalan umat— ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan—dituntut juga keberangkatan agama. Bahwa Islam bukan hanya peraturan dan hukum-hukum, melainkan juga ilmu, cinta kasih, solidaritas, pembebasan, dan pembelaan atas kaum lemah, apa lagi kaum yang dilemahkan.
Barangkali kita bisa melacak akar tema ini dari konflik klasik antara—katakanlah—tasawuf dengan fiqih. Pada masa Dinasti Umayyah, para fuqaha berada di garis depan untuk menata pola-pola hubungan sosial dan sistem-sistem kemasyarakatan. Dan sejarah umat Islam di Indonesia dalam banyak hal menyangga beban yang kurang lebih sama. Sebagaimana pada awal 1980-an, perdebatan tentang masalah ini sempat ramai terjadi. Namun, pada saat yang bersamaan, tatkala terjadi perubahan besar-besaran yang terjadi di masyarakat, banyak problem yang tak bisa diselesaikan melulu dengan pendekatan syar’i.
Penulis berusaha menyumbangkan upaya-upaya yang khas untuk memoderasikan kutub fiqih dengan kutub tasawuf. Tetapi, mungkin karena pemaparannya “sekadar” memakai bahasa kolom saja, maka kita tidak segera menemukan inovasi pemikiran dan ijtihad yang telah dikontribusikannya dalam kadar yang sebenarnya.
Pada Bagian Kedua, tulisan-tulisan yang tersajikan memaparkan berbagai problem yang dihadapi oleh berbagai kelompok masyarakat. Yakni, mereka yang mengalami “sunyi” ekonomi, politik, dan budaya, serta tertepikan dalam pergulatan sejarah.
Diperlihatkan betapa agama lantas berhadapan dengan problem-problem nyata yang harus diselesaikan. Pada tahap ini, kolom-kolom yang tertuang menohok bermacam-macam ketidak beresan di setiap lapis ekonomi dan kekuasaan. Seolah-olah dalam pemahaman awam, tema-tema kolom seperti ini memasuki wilayah non-agama. Pembicaraan menyentuh soal tata krama dan budaya politik, umpamanya, bahkan mempersoalkan patriotisme dan mengurusi tema-tema emansipasi kaum perempuan di Indonesia.
Namun, senantiasa tampak jelas bahwa itu semua tetap berada dalam konteks “kerja agama” setiap Muslim dan pemimpin umat. Dengan itu, tampak jelas pula bahwa landasan dan kerangka Islam selalu merupakan pilihan approach yang dipergunakan oleh penulis dalam memahami dan mengupas persoalan apa pun. Adapun pada Bagian Ketiga, tulisan-tulisan ini memasuki persoalan-persoalan yang lebih makro dan universal. Setiap tema yang diajukan selalu ditarik ke dalam skala makro sejarah dan peradaban yang luas. Kasus sadisme, misalnya, yakni tentang kekejaman pembunuhan yang terjadi di Indonesia, oleh penulis dilihat tidak sekadar sebagai kasus psikologis-personal atau kasus kelainan kejiwaan, melainkan juga sebagai bagian dari kecenderungan-kecenderungan sosial—bahkan sistemik—dari keberlangsungan sejarah.
Pada tulisan paling ujung bahkan Anda bisa menemukan sebuah kolom yang berbicara tentang bakat bangsa yang berbeda-beda, yang sesungguhnya akan juga melahirkan cita-cita, pilihan kebudayaan, atau cara-cara memodernisasi diri yang juga berbeda.
Penulis mencoba membayangkan suatu peradaban yang tidak berporos tunggal. Dan tentulah, ini sebuah pertanyaan yang penting terhadap apa yang makin populer kita sebut globalisasi pada skala kebudayaan.
Pada akhirnya, kita bisa membaca rangkaian kolom-kolom ini sebagai teman dialog, lebih dari sekadar deretan informasi. Mungkin kita bisa berangkat dari angle yang santai untuk berbicara tentang sebuah problem besar. Sementara pada saat yang lain, kita bisa mengawalinya dengan angle lain yang serius bahwa fenomena-fenomena di sekeliling kita selalu menuntut pemikiran yang juga sungguh-sungguh.
Kolom senantiasa menjanjikan dua kemungkinan itu.
Toto Rahardjo
Kuskridho Ambardi